Maling, Apapun itu Tetap Maling !

Post image for Maling tetaplah maling


Seorang berteriak, “Bebaskan maling sandal! Kalau koruptor saja bisa bebas kenapa dia tidak? Dimana letak keadilan kita?”
Pernyataan itu spontan kubalas, “Kenapa harus dibebaskan, justru kalau dibebaskan, dimana adilnya?”
“Tapi koruptor maling berjuta-juta lipat ketimbang sandal!?”
“Itu urusan lain!” tangkisku. “Koruptor ya koruptor, maling sandal ya maling sandal!”

“Nggak bisa dong! Harusnya koruptor dihukum berlipat-lipat lebih kejam ketimbang si maling sandal, Don!”
“Benar? Kalaupun benar itu tugas pengadilan dan itu tidak menghilangkan esensi bahwa si maling sandal juga harus dihukum kan?” balasku.

“Iya, tapi… ini maling sandalnya masih anak-anak lho, Don… Coba kalau anakmu yang dibegitukan… Bagaimana reaksimu? Apa ya tetap tega bilang begitu?”
“Anakku maling? Ya kuhukum!”
“Ah, tak percaya! Kau pasti akan tak terima kalau anakmu dimejahijaukan!”
Pembicaraan kuhentikan disitu karena ia telah menjadi bias dan tak menarik lagi.

* * *
Bagiku maling adalah maling…

Bagiku maling adalah maling terlepas dia maling sandal, baju, software, waktu, kekuasaan ataupun uang, atau yang biasa disebut sebagai koruptor, ia tetaplah maling. Mau ‘bayi’ umur delapan tahun, dua belas, lima puluh ataupun sembilan puluh tahun, kalau dia mengambil barang milik orang lain tanpa ijin tetaplah ia maling. Yang namanya maling, haruslah dihukum dan hukum inilah yang harus disesuaikan berat-ringannya tapi intinya, ia harus tetap dihukum.
Malah, menurutku, hukuman diperlukan oleh si maling itu sendiri sebagai sarana untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat. Maling tanpa hukuman akan membuat ia selamanya menjadi maling, sebaliknya, ketika seorang maling telah menjalani hukuman, ia berhak untuk hidup lebih baik lagi meski kalau maling lagi ya, dihukum lagi.
Tanpa hukuman atau status terhukum, esensi kesalahan terhadap tindakan maling takutnya juga akan kabur dan masyarakat semakin rabun mana yang baik dan mana yang benar karena keduanya tak ada yang membedakan. Kalau pada akhirnya tiap hukuman itu berbeda ya tak mengapa selama setidaknya tak men-ciderai konsep ‘maling tetaplah maling” itu sendiri.
Baiklah aku setuju bahwa dalam kasus maling sandal dimana pelakunya masih anak di bawah umur barangkali memang tak pantas dimejahijaukan. Tapi justru ini adalah momentum untuk kita menuntut pada negara bahwa ia harus memfasilitasi keadaan jika ada kejadian seperti ini; maling di bawah umur.
Baiklah aku setuju pula bahwa anak-anak adalah tanggung jawab orang tua. Tapi kalau demikian adanya, apa bentuk pertanggungjawaban orang tua kalau anaknya maling? Ada yang berani menyeret orang tua ke muka hakim karena anaknya maling? Padahal kalau mau fair, karena anak adalah tanggung jawab orang tua, maka ketika si anak melakukan kesalahan dalam hal ini menjadi maling, maka orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan si anak.
“Ya maksudku, anak jadi tanggung jawab orang tua itu si anak dididik dengan cara orang tuanya masing-masing!”
Ok, katakanlah demikian, tapi bagaimana cara membuktikan bahwa bentuk didikanmu tak kan membuat anakmu jadi maling? tanyaku.

“Ah… ya pasti bisalah.. Lagipula itu cuma sandal gitu loh.. gimana dengan koruptor yang maling trilyunan kok ga dihukum seberat anak itu!?” balasnya.
Sekarang cuma sandal?
Lalu besok tape dan radio?
Meningkat ke televisi?
Hingga titik itu kamu tetap akan bilang “Ah, cuma televisi!” ?

Lalu besoknya lagi uang, dan kekuasaan lalu uang lagi… semula ribu, juta, milyar, ratus milyar dan terakhir trilyun dan aku akan berkata “Tak terasa waktu berlalu. Dulu anakmu maling sanndal tak kau apa-apakan dan sekarang anakmu maling trilyunan, dan kau… kau sudah tak bisa apa-apa sekarang!”
Begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar